“Mari masuk.” membukakan pintu untuk teman yang kedua
tangannya penuh karena membawa plastik berisi botol-botol berisi minuman keras
dan beberapa bungkus rokok.
Mereka berdua baru pulang dari
pemakaman bapak kos mereka, bukan, bukan hanya sekedar bapak kos, tapi figur
ayah bagi mereka berdua selama 16 tahun ini. Dan ini sudah larut malam, namun
keduanya masih larut dalam duka dan kesedihan.
Kantong plastiknya ditaruh di
meja, sedang yang tadi mempersilahkan masuk langsung menyambar kotak bungkus
rokok, mengambil pemantik api di dalam kantong, menyalakan rokok tersebut.
Sebelum setetes air mata sempat jatuh dari pelupuknya.
“Baru dua jam yang lalu ia tiada,
kamu sudah lupa hal yang paling dia benci kita lakukan?” emosinya seakan
meletus melihat sahabatnya seenaknya melanggar peraturan “ayah” mereka yang
paling utama, merokok didalam rumah.
Ia menghembuskan asap rokok
dengan suara bergetar, menutup matanya dan setetes air mata akhirnya jatuh.
“Sudahlah, relakan. Ia sudah tiada, tidak ada, seberapapun kita menginginkan
itu tidak terjadi.”
Sang teman kecewa akan
perkataan sahabatnya, tak pernah ia sangka kawannya akan berkata seperti itu.
Ia berjalan ke dapur untuk mengambil gelas.
Sedangkan yang satu lagi masih
berduka, getaran nafasnya terdengar kuat diseluruh penjuru ruangan, kelopak
matanya terbuka, menyisakan genangan sisa air mata yang memburamkan
penglihatan.
Ia menyeka air matanya,
pandangannya mulai membaik. Ia melihat sesosok laki-laki paruh baya tengah
menatapnya marah.
“Segitu cepatnya, kah, kamu melupakan
saya?” Laki-laki, yang merupakan “ayah” baginya, menatapnya garang. Rokok yang
tadinya ia jepit di tengah jari telunjuk dan tengah jatuh ke lantai, mulutnya
menganga lebar, namun tidak dapat mengeluarkan teriakan ataupun kata-kata.
Laki-laki itu bangkit berdiri,
dan berjalan kearahnya. Mukanya seakan terbakar dan menyala menjadi satu, ia
menunduk sehingga wajah tersebut sejajar dengan wajahnya.
“Baru dua jam, kamu lupa dengan saya?” bentaknya sangat sangat kencang. Ia tersadar, mulutnya masih terbuka lebar, dan lanjut ke lehernya yang terasa dicekik. Laki-laki itu tak kunjung pergi, ia masih menatapnya marah dan membuat gestur mencekik orang.
Mulutnya masih terbuka lebar,
ia tidak bisa bernafas, pandangannya perlahan mengabur seraya air mata mulai
menggenangi matanya. Di detik-detik terakhir, ia sempat menangkap figur
sebenarnya yang sedang berada didepannya, yang sedang mencengkram kuat lehernya. Bukan, bukan “ayah”-nya, melainkan
sahabatnya sendiri.
Sahabatnya menghela nafas,
melihat orang didepannya terkulai lemas, tanpa nafas. Ia berdiri tegak, “Dia
belum tiada, dia masih ada.” jari telunjuknya menyusur keatas, menuju ulu hati
dan mengetuknya dua kali. “Melainkan disini.”
No comments:
Post a Comment