Thursday, June 23, 2016

Masih Ada (indonesian)

“Mari masuk.”  membukakan pintu untuk teman yang kedua tangannya penuh karena membawa plastik berisi botol-botol berisi minuman keras dan beberapa bungkus rokok.

Mereka berdua baru pulang dari pemakaman bapak kos mereka, bukan, bukan hanya sekedar bapak kos, tapi figur ayah bagi mereka berdua selama 16 tahun ini. Dan ini sudah larut malam, namun keduanya masih larut dalam duka dan kesedihan.

Kantong plastiknya ditaruh di meja, sedang yang tadi mempersilahkan masuk langsung menyambar kotak bungkus rokok, mengambil pemantik api di dalam kantong, menyalakan rokok tersebut. Sebelum setetes air mata sempat jatuh dari pelupuknya.

“Baru dua jam yang lalu ia tiada, kamu sudah lupa hal yang paling dia benci kita lakukan?” emosinya seakan meletus melihat sahabatnya seenaknya melanggar peraturan “ayah” mereka yang paling utama, merokok didalam rumah.

Ia menghembuskan asap rokok dengan suara bergetar, menutup matanya dan setetes air mata akhirnya jatuh. “Sudahlah, relakan. Ia sudah tiada, tidak ada, seberapapun kita menginginkan itu tidak terjadi.”

Sang teman kecewa akan perkataan sahabatnya, tak pernah ia sangka kawannya akan berkata seperti itu. Ia berjalan ke dapur untuk mengambil gelas.

Sedangkan yang satu lagi masih berduka, getaran nafasnya terdengar kuat diseluruh penjuru ruangan, kelopak matanya terbuka, menyisakan genangan sisa air mata yang memburamkan penglihatan.

Ia menyeka air matanya, pandangannya mulai membaik. Ia melihat sesosok laki-laki paruh baya tengah menatapnya marah.

“Segitu cepatnya, kah, kamu melupakan saya?” Laki-laki, yang merupakan “ayah” baginya, menatapnya garang. Rokok yang tadinya ia jepit di tengah jari telunjuk dan tengah jatuh ke lantai, mulutnya menganga lebar, namun tidak dapat mengeluarkan teriakan ataupun kata-kata.

Laki-laki itu bangkit berdiri, dan berjalan kearahnya. Mukanya seakan terbakar dan menyala menjadi satu, ia menunduk sehingga wajah tersebut sejajar dengan wajahnya.

“Baru dua jam, kamu lupa dengan saya?” bentaknya sangat sangat kencang. Ia tersadar, mulutnya masih terbuka lebar, dan lanjut ke lehernya yang terasa dicekik. Laki-laki itu tak kunjung pergi, ia masih menatapnya marah dan membuat gestur mencekik orang.


Mulutnya masih terbuka lebar, ia tidak bisa bernafas, pandangannya perlahan mengabur seraya air mata mulai menggenangi matanya. Di detik-detik terakhir, ia sempat menangkap figur sebenarnya yang sedang berada didepannya, yang sedang mencengkram kuat lehernya. Bukan, bukan “ayah”-nya, melainkan sahabatnya sendiri.

Sahabatnya menghela nafas, melihat orang didepannya terkulai lemas, tanpa nafas. Ia berdiri tegak, “Dia belum tiada, dia masih ada.” jari telunjuknya menyusur keatas, menuju ulu hati dan mengetuknya dua kali. “Melainkan disini.”




No comments:

Post a Comment